C. Tiga Pilar Utama Pendidikan
Sukses adalah sebuah formula, bukan fantasi, bukan tujuan, tetapi sebuah
perjalanan. Untuk menjadi sukses maka dia harus mengetahui visi hidupnya,
menyadari dan terus tumbuh menuju potensi maksimal, dan menaburkan benih dan
terus tumbuh menuju potensi maksimal. Tiga faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan suksesnya pembelajaran siswa di sekolah adalah guru, orang tua,
dan siswa.
Ketiga pilar di atas harus memiliki pemahaman / internalisasi yang sama tentang
arah dan tujuan akhir dari sistem pembelajaran. Ketika peraturan menteri tahun
2006 menggariskan bahwa tujuan dari pengembangan diri adalah untuk memberikan
kesempatan kepada siswa mengembangkan dan mengkekspresikan diri sesuai dengan
potensi siswa, maka pihak sekolah berkewajiban menyediakan program yang
teritegrasi dan fasilitas yang pendukungnya, orang tua mencukupi dan mendukung
konsekuensinya, serta siswa dengan ikhlas dan penuh kesungguhan dan
tanggungjawab mengikutinya.
Permasalahan yang paling utama dalam bimbingan dan konseling adalah kurangnya
pemahaman tersebut dari pihak terkait. Peran bimbingan dan konseling sering
didefinisikan terlalu sempit sebagai tempat membina siswa yang bermasalah dalam
perilaku. Seorang siswa yang dipanggil untuk konseling seolah dia yang memiliki
masalah baik prestasi akademis maupun kejiwaan.
Bagi guru yang mengajar kelompok mata pelajaran atau muatan lokal yang kurang
faham akan tujuan pembelajaran, aspek pencapaian akademis yang digambarkan
dalam angka-angka atau nilai seolah menjadi tujuan tunggalnya. Bagi dia,
tugasnya sudah selesai manakala rata rata kelas siswa sudah sesuai dengan
target sekolah dan dia merasa di luar tugasnya lagi menanamkan aspek
pengembangan diri siswa. Dia tidak menyadari bahwa dalam banyak kasus mungkin
terjadi bahwa nilai tinggi itu dicapai bukan melulu karena peran guru tersebut,
melainkan juga karena keikutsertaan siswa dalam penyelenggara bimbingan belajar.
Dengan banyaknya drill soal soal latihan yang diberikan oleh bimbingan belajar
secara intensif, maka siswa terbiasa menjawab soal.
Kebermaknaan belajar juga seringkali terabaikan tanpa sadar. Contoh kasus,
seorang guru merasa sudah cukup berhasil manakala siswa sudah diberi penugasan
mencari artikel di internet lalu tugasnya dikumpulkan dengan tampilan yang
menarik sebelum batas waktu yang ditentukan. Bentuk penugasan internet ansich
seperti ini tanpa disertai sedikitpun kreatifitas guru akan menjadikan
penugasan tersebut hanya berbicara tentang nilai angka yang melayang tanpa
makna. Betapa tidak, siswa dengan mudah mencari artikel yang ditugaskan gurunya
dengan cara berselancar (browsing) di internet menggunakan mesin pencari
(Search engine). Saat artikel telah ditemukan, langsung di pindai (copy paste)
ke microsoft word, lalu dicetak, dan jadilah makalah. Namun apakah siswa
membacanya atau mendiskusikannya dengan teman temannya ? Sudah barang tentu
tidak, karena umumnya tugas tugas internet seperti ini tidak akan ditanyakan
dalam ulangan atau ujian. Pernugasan seperti ini telah membuang buang waktu,
tenaga dan biaya tanpa makna pembelajaran, karena guru yang kurang kreatif
cenderung akan menilai tugas siswa dari tampilan kulitnya, sehingga tugas internetnya
nyaris tak lebih baik dari tugas pengumpulan kliping di masa lalu.
Dengan tugas yang sama, Guru yang mampu memaknai tujuan akhir pembelajaran
pasti akan menggunakan pendekatan lain. Dia akan membagi siswa menjadi beberapa
kelompok, membagi topik yang harus dicari di internet per kelompok, dan meminta
mereka mempresentasikan di depan kelompok lain tentang tugasnya itu. Dia sadar
betul bahwa melalu pelajarannya dia juga bertugas mengembangkan nilai nilai
kerjasama antar siswa, kemampuan berkomunikasi, berekspresi, berinteraksi,
pencarian informasi, berbeda pendapat, serta daya analitis siswa didiknya.
Penilaian tidak lagi didasarkan atas tampilan cover makalah, melainkan
totalitas nilai usaha yang telah dia lakukan, termasuk tercermin di dalamnya
penguasaan akan materi. Inilah kebermaknaan, Guru yang kreatif selalu akan bisa
menemukan cara bagaimana menciptakan budaya pembelajaran sesungguhnya (the real
learning culture), bagaimana mengejar kebermaknaan belajar, bagaimana mengemas
materi yang diajarkannya dengan cara cara yang attraktif bagi siswanya.
Orang tua yang memahami tujuan pembelajaran akan sepenuhnya mendukung dari
belakang langkah langkah yang dilakukan sekolah dalam mengembangkan seluruh
potensi anaknya. Secara sendiri ataupun melalui komite sekolah dia akan secara
aktif dan dinamis memberikan masukan masukan yang konstruktif untuk perbaikan
system. Dia juga akan kritis terhadap cara cara pembelajaran yang dilaksanakan
asal asalan, tidak berorientasi masa depan, dan tidak tanggap terhadap
perubahan lingkungan. Dia bertindak dan bersikap bijak bahwa tanggungjawab
pendidikan tidaklah tertumpu hanya pada sekolah, tetapi dirinya juga memiliki
andil terhadap kesuksesan dan kegagalan anaknya. Untuk itu, pengawasan yang arief
dan penuh cinta terhadap anak anaknya senantiasa dia lakukan. Dia tidak selalu
tampil sebagai hakim yang selalu menyalahkan anak, namun sebagai panutan dan
pembimbing di luar sekolah. Dia tidak bertindak sebagai penuntut hak terhadap
sekolah, melainkan sebagai partner dalam optimalisasi pengembangan diri anak.
Bagi siswa, memahami tujuan pembelajaran berarti memaknai bahwa kepergiannya ke
sekolah bukan semata mata mencari ijazah atau nilai. Jangkauannya lebih jauh
dari itu, dia sadar betul bahwa dirinya sedang berperan mempersiapkan fondasi
masa depannya. Fondasi yang kokoh harus dia pancangkan agar tercipta bangunan
masa depan yang kokoh, yang tahan terhadap kemungkinan tantangan alam terbesar
sekalipun. Rasa tanggung jawabnya yang besar mengalahkan segala keinginan
jangka pendeknya yang seringkali menyesatkan. Berbekal hal tersebut, maka dia
tampil menjadi sosok yang memiliki daya juang (fighting spirit) yang tinggi,
berinisiatif, berfikir di luar kebiasaan (thinking out of the box), innovatif,
dan disertai dengan pribadi yang menyenangkan semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar